Elmu Luhung Kasakti Diri

Rabu, 15 Desember 2010

Bocah yang Dewasa

Sore yang dingin, gerimis mebasahi seluruh lantai jalanan. Aku sedang berjalan pulang, aku pikir hujan sore ini agak berbeda. Padahal hujan tetaplah air yang jatuh dari awan. Aku diam sejenak dipinggir sebuah warung, untuk mengindari basah dari gerimis itu. Aku perhatikan tetesan air dari langit itu menyentuh jalanan, dan membuatnya basah. Tetesan itu sedikit namun temannya banyak, jadilah hujan.
Setelah lama, aku tidak mendapatkan kesempatan seperti ini. menunggu hujan reda, tidak dikejar deadline tugas, tidak ada janji, perut lumayan kenyang dan santai. Aku nikmati saat-saat langka seperti ini. Dan,  kini pandanganku lepas dari air. Di ujung sana, diseberang jalan aku lihat anak usia sekitar 8th yang sedang memanggul dagangannya. Aku tidak tahu apa yang ada dalam isi gendongannya. Kelihatannya dia sedang menjajakan barang bawaannya itu pada orang-orang yang sedang berteduh. Dan dia sendiri basah, kuyup.
Aku terus memandangi bocah ingusan itu. Dekil, rambut hampir gimbal yang aku tebak dia tidak keramas selama beberapa hari, muka kusut campuran dari kepanasan dan lelah, serta baju yang sudah lusuh kumal. Bocah laki-laki itu terus memaksa seorang ibu-ibu yang sedang berteduh disana. Entah merasa risih karena rengekan bocah itu atau memang sudah ingin pergi, ibu-ibu tadi beranjak menuju angkot yang sedang ngetem. Bocah tadi kelihatan kelelahan, sangat kelelahan. Kini dia tidak lagi menjajakan dagangannya, dia duduk di depan sebuah counter ponsel, mungkin menunggu hujan reda sama seperti orang-orang.
Aku terus memandangi bocah lugu itu. Entah berapa lama aku melakukannya. Aku hanya tertarik pada tingkahnya.
Dia mengusap hujan di wajahnya. Menyekanya menggunakan lengan kirinya. Lalu terlihat menghembuskan nafas berat. Seperti nafas kelelahan. Aku terus memandangi bocah itu. Aku tidak tau dia sadar atau tidak, aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu. Jarak kami tidak terlalu jauh, hanya terbatas oleh jalan raya dan seliweran mobil-motor yang lewat.
Aku pastikan dia kelelahan, aku kira seharian ini dia habiskan untuk berjualan yang aku tidak tahu barangnya. Aku semakin penasaran dengan anak itu. Entahlah, dia sungguh membuatku ingin mendekatinya. Ingin tahu sekedar namanya. Lalu dari tempatku aku melihatnya menunduk, tapi disela merunduknya aku lihat ujung mulutnya yang mungil, menyungging tipis. Dia tersenyum.
Aku tahu, aku mungkin iba padanya, khawatir sekaligus sangat tertarik. Aku tidak bisa menahan diri. Aku mendekatinya, pura-pura berteduh lalu duduk disamping bocah itu. Sadar ada yang duduk di sampingnya, bocah itu mengangkat wajahnya.
Kau tahu, itu wajah bocah tertampan yang pernah aku lihat. Raut muka yang kelelahan tidak membuat aura anak ini hilang. Mukanya yang kucel kalah oleh air muka anak ini. aku tertegun sejenak, kaget dan memang sangat kaget. Dia senang, ada yang duduk disampingnya. Tersenyum lalu “teh, aku jual cireng. Mau beli teh?” tanyanya sambil gemetaran karena aku yakin dia kedinginan. “Tampan sekali anak ini.” gumamku dalam hati. “berapa sebungkus?” tanyaku ramah. “5ribu teh” jawabnya dengan gaya bocah ingusan. Pilu melihatnya, cireng isi 10 biji yang dihargainya limaribu rupiah yang dia jajakan seharian, dibawa hujan-hujanan dan panas-panasan, tidak adil jika hanya dihargai lima ribu. Aku menangis, dalam hati. “mau beli kan teh?” tanyanya memecah lamunanku. “oh, ya teteh beli satu ya” jawabku agak kaget tapi berusaha agak tidak terlihat gugup. Aku lihat air mukanya yang berubah, sedikit sumringah. Hanya sedikit. Dibungkusnya cireng itu menggunakan kantong plastik hitam. Lalu memberikannya padaku, dan aku bayar. “de, masih banyak cirengnya?” tanyaku tiba-tiba. Dia menatapku, lalu menjawab “masih teh, hari ini lagi sepi padahal saya sudah keliling”. Bocah itu tersenyum menatapku. Senyuman yang ikhlas, yang menyiratkan banyak kesedihan, beban hidup. Dimatanya aku lihat kelelahan yang luar biasa. Lalu aku tertarik untuk mengetahui namanya.
“De, namamu siapa?” tanyaku ramah. “Nurul” jawabnya singkat sambil mengelap cireng-cirenngya yang kebasahan terkena hujan tadi. Lalu dia menyempatkan untuk menatapku. Lalu tersenyum lagi dan berkata “teh, hidup ini melelahkan ya. Tapi aku ga bisa lelah”, aku segera menatapnya. Dan dia juga menatapku. “hidup memang berat de, tapi biasanya Tuhan memberikan ujian berat pada orang yang kuat. Karena Tuhan tahu mereka akan kuat menghadapinya” jawabku sekenanya. Jujur aku kaget mendengarnya melontarkan pernyataan seperti itu. Aku hanya orang yang dia kenal barusan, 5menit yang lalu yang membeli cirengnya karena kasihan dan tertarik pada bocah dekil yang tampan ini. Kembali dia tersenyum, yang membuatku ingin menangis. Aku merasakan kedewasaan yang dipaksakan dalam diri anak ini. dia dipaksa kuat dan menjadi anak dewasa. Tetapi dia mampu melakukannya, entah apa yang mebuatnya begitu.
Mataku berkaca-kaca, dan aku tahan semampuku. Ada rasa iba yang luar biasa yang mengisi ruang-rung hatiku saat ini. andai aku mampu membantunya. Andai aku punya waktu untuk mengetahui masalahnya, aku mau anak ini tertawa bukan hanya tersenyum.
Dan aku tersadar hari semakin gelap, dan aku memang harus segera pulang sebelum hujan turun lagi. Karena memang bulan ini cuaca sedang berkabung. Setiap hari 11 jam hujan.
Bocah tampan itu masih duduk di sebelahku. Menyender pada dinding disebelahnya. Dia melamun. Kosong dan sepertinya ingin segera melepas penatnya. Sebenarnya aku masih ingin menemani bocah itu. Berbincang lama dan mengenalnya lebih dalam. Dan akhirnya aku putusan untuk meninggalkannya. “hei de, aku pulang duluan ya. Hari sudah gelap sebaiknya kamu pulang dan beristirahatlah” saranku dan memberinya senyum. Dia diam sejenak, mematung seperti mayat. Pucat karena kedinginan, lalu memandangku lagi, “teh, Tuhan itu ada kan? Dia akan menolong kita kan?” katanya dengan suara sayup-sayup nyaris tidak terdengar. Demi Tuhan aku ingin menangis, aku tahu beban hidup bocah gelandangan ini berat, tapi kenapa dia harus berntanya seperti itu padaku, yang tidak bisa membantunya saat ini. “tentu de, Allah itu ada dan Dia menyayangimu, karena kau kuat dan ,….” Aku terpotong dengan air mataku yang mengalir begitu saja. Dia melihatku menangis, dan menatapku semakin dalam. “dan kau akan mendapat kebahagian sebagai ganti kerjamu selama ini” lanjutku tidak yakin bocah itu mengerti atau tidak pernyataanku. Aku tidak dapat memandangi bocah itu lagi. Aku lepaskan sweater yang aku pakai lalu memakaikannya asal pada bocah itu. Dan bocah itu tetap diam ditempatnya, duduk mematung. Tingkah yang aneh untuk usia seumuranya yang harusnya sedang berkumpul dengan ibu dan ayahnya sekarang. Setelah memakaikan sweaterku, aku menepuk pundaknya, “samapi jumpa de” pamitku menahan tangis yang ingin sgera membludak. Aku langsung meninggalkan bocah yang duduk lemas itu dan tidak menengoknya lagi. Dan pipiku mulai basah.
Aku memutuskan memakai taksi agar aku cepat sampai rumah. Tapi sialnya jalanan macet. Ya, memang akan macet. Ini hari sabtu, tepanya malam minggu yang waktunya manusia keluar untuk bersenang-senang. Sekarang, bayanganku tidak lepas dari bocah tampan tadi. Baru terfikir olehku untuk memberinya uang untuk sekedar mengganti cirengnya yang tak laku, atau aku beli saja semua cireng-cirenya dan aku bisa membagikan cireng itu pada siapapun dirumah. Aku mengepalkan tangan, menyesal. Sangat menyesal. Aku terisak, dan semakin keras. Supir lalu memastikan bahwa aku baik-baikn saja, dan aku berhasil meyakinkanya bahwa aku hanya sedih dan aku baik-baik saja. Itu cukup membuat supir itu diam.
Aku melamun, membayangkan bocah itu pulang. Entah dia punya tumah atau tidak, entahlah dia pulang kemana, sudah makan kan dia, sudah shalatkah dia, amankah dia sekarang. Dan emosiku semakin tak terkendali, aku ingin memeluk anak itu dan mengantarkannya pulang untuk memastikan dia aman. Lalu memberinya uanga untuk mengganti bajunya yang kumal dan mengisi perutnya yang kempes itu. Dan aku memang sudah tidak bisa menahan lagi untuk kembali ke counter tadi dimana aku bertemu bocah tampan itu.
Aku keluar taxi dan memberikan uang pada sopirnya, entah berapa uang yang aku keluarkan. Aku tidak peduli, aku hanya peduli pada nurul.
Jalanan macet malam itu, dan hari sudah menujukan pukul 7malam, aku putus asa karena perasaanku semakin tidak enak. Aku berlari, menembus hujan yang deras saat itu. Bayanganku hanya nurul. Aku ingin memeluknya, aku ingin melindunginya.
Aku terus berlari kecil, sperti orang gila mungkin, tapi itu tidak jadi soal. Aku tidak peduli. Aku ingin melihat nurul, dimana nurul. Aku sampai di counter tadi dan akau tidak menemukan bocah itu. Hatiku semakin tidak nyaman saja. ‘kumohon Tuhan, aku ingin melihatnya lagi, walaupun untuk yang terakhir kali’ gumamku. Aku berjalan menyusuri jalanan yang basah dengan keadaan tidak karuan. Dan sampailah aku pada kerumunan orang-orang. Persaanku tidak beres dan aku mulai menangis. Feeling ku, aku harus melihat dibalik kerumunan itu.
Dan, aku berhasil menembus kerumunan itu, dengan goyah aku berdiri. Aku melihat seongok manusia yang usiannya sekitar 8th memakai sweater yang aku kenakan pada bocah ingusan tadi sore, dan bibir mungilnya yang menyungging, tersenyum.
Nurul, tergeletak didepanku.
Aku gemetaran dan kakiku lemas. Aku menolak mataku tentang kenyataan didepanku, semua perasaan aneh itu. Tapi itu hanya bertahan beberapa detik. Dan aku ambruk. Merangkul bocah itu, bocah yang sudah menjadi mayat dengan sweater yang kebesaran. Aku rasakan tanganku basah, dan itu darah dari kepala nurul. Dia tertabrak mobil ketika hendak menyebrang. Dan kepalanya terbentur aspal, keras aku kira. Karena sampai kepalanya ini berdarah dan anak ini mati.
Aku rasakan kemarahan dan kesedihan yang luar biasa saat itu. Mereka yang mengerumuni nurul ternyata hanya menonton. Tidak mereka lakukan apa-apa. Mereka tahu, bocah ini hanya gelandangan tidak berarti, jadi untuk apa diselamatkan. Biarkan nurul, bairakanlah. Karena yang akan memelukmu adalah Tuhan. Tuhan menjemputmu dan akan menggantinya dengan tempat yang lebih layak dan perlakuakn yang sangat pantas. Tuhan mengakhiri penderitaanmu, kau pergi dengan tenang, aku yakin karena kau menutup matamu sanmbil tersenyum.
Baru akau sadari ternyata perkataannya dan perkataanku menyiratkan sesuatu. Ketika pengakuannya tentang hidupnya yang berat, tentang kerinduannya pada sosok Tuhan, dan perkataanku terakhir ketika ingin bertemu dengannya “kumohon Tuhan, aku ingin melihatnya lagi, walaupun untuk yang terakhir kali”. Semuanya seolah menyiratkan sesuatu. Berkaitan dan memang sepertinya itu pertanda. Sebuah kejadian yang mengubah hidupku hingga saat ini. Saat aku ingat senyum tulusnya yang menyiratkan kedewasaan yang dipaksakan, tetapi aku salah. Dia tidak terpaksa, dia memang dewasa. Bocah yang dewasa.
“Nurul”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar